Monday, December 25, 2006

Tas Kesayangan


Ini dia tas incaran EM yang akhirnya benar-benar menjadi miliknya seperti cerita dibawah ini. Gambar tas ini diambilnya dari website http://www.stmbags.com.au/smallloft. Website ini memiliki informasi yang sangat lengkap. Sehingga EM bisa memilih tas dari internet, dan ketika ke toko sudah
tinggal meyakinkan bahwa barang sesuai bayangan. Tidak usah milih-milih lagi. Datang langsung tahu barang mana yang akan diambil. Kata EM, "Internet shopping is cool maaan...".

Monday, December 18, 2006

Tas :p

Ketika aku pertama kali memakai tas baruku pagi ini, aku menatap tasku
dan pikiran yang terbit di otakku adalah: Forgive me Father, for I
have sinned.

Aku sungguh merasa berdosa karena harga tas itu mahal banget untuk
ukuranku dan aku kira untuk ukuran banyak teman-temanku juga. Hiks.
Sejak bisa cari uang sendiri aku mulai sadar bahwa aku punya titik
lemah terhadap tas.

Sebelum tas mahal ini, aku pernah beli tas mahal lain, yang membuat
aku bersumpah ga akan beli tas lagi hingga 5 tahun ke depan. Tentu
saja aku langgar sumpahku sendiri.

Tas mahal pertamaku tas kulit bikinan Yogya. Aku suka tas itu karena
bahannya kulit dan modelnya unik.

Tas mahal keduaku bukan kulit. Yang ini tas untuk computer notebook.
Kali ini bikinan Australia. Aku suka tas ini karena desainnya, banyak
kantong dan kelihatan kuat. Tampangnya sih biasa aja.

Tapi memang salah satu faktor penentu aku suka satu tas atau tidak
adalah desain kantong-kantongnya. Kalau bagian-bagian dari tas itu
dirancang dengan "cerdas" aku bisa kalap. Terbukti pagi ini. Huh.
Aku tidak menyesal sih, tapi kayaknya aku harus mengurangi belanja
makan untuk menggantikan keborosanku yang satu ini. Snif. Dosa oh
sungguh dosa...

EM

Thursday, December 14, 2006

Percakapan Teh Botol Sosro dan Kentucky Fried Chicken

Petikan percakapan dua orang sahabat--EM dan NJ--tentang Teh Botol Sosro dan Kentucky Fried Chicken (KFC). Petikan ini diambil dari percakapan lewat Yahoo Messenger (YM), 10 Desember 2006 lalu.

NJ : Tok tok. Halouww. Lama nih tidak ketemu di YM.
EM : Hai. Iya nih. Sibuk.
EM : Eh kebetulan nih ada kamu. Aku lagi lapar. Dan yang aku pikirkan cuma sayap goreng KFC.
NJ : Hahahahaha
EM : Aku sungguh tidak berguna...
NJ : Hari Kamis lalu aku ke Bandung. Aku naik travel dari Jakarta ke Bandung, berangkat jam 6 pagi. Sampai di Bandung masih pagi banget, jam 8 pagi. Padahal jadwalku interview dengan narasumber masih jam 11 siang. Sementara aku sudah diturunkan di depan rumah narasumber di Jalan Riau (Bandung). Wah. Aku mondar-mandir sepanjang jalan depan rumah narasumber, dan berkata dalam hati bahwa yang kubutuhkan sekarang ini cuma tempat dimana aku bisa beli minuman teh botol sosro dan tempat duduk buat baca-baca bahan interview. Kok susah banget. Ada sih kafe berderet-deret, tapi belum ada yang buka. Tukang jual teh botol sosro sih ada. Tapi rata-rata tidak punya tempat duduk yang representatif. Bingung juga. Lalu aku pergi ke Bank Mandiri, haha, satu-satunya fasilitas publik yang sudah buka jam 8 pagi. Iseng-iseng minta print out buku tabungan, terus malah dikasih keterangan soal sms banking segala macam. Dan akhirnya, begitu selesai dan membuka pintu bank, tiba-tiba terbuka di depan mataku: pemandangan KFC--tepat di depan Bank Mandiri--yang sudah buka! Akhirnya aku masuk. Pesan: nasi putih panas, dada ayam goreng panas, dan teh botol sosro. Puass rasanya. Terus aku pesan lagi puding coklat sambil baca-baca bukunya bu claire holt.
EM : hahaha. KFC Jalan Riau ya? Itu kan termasuk KFC yang tertua di Bandung.
EM : Kemarin aku beli teh botol sosro disini. Harganya 2,5 euro. Tapi aku salah, aku meminumnya dengan sangat cepat.
NJ : hehe. Harusnya pelan-pelan ya. Seharian ini aku sudah minum 2 teh botol sosro.
EM : Iya. KFC ada teh botol sosro kan? Di McD gak ada ya.

...

Monday, November 27, 2006

Kampanye Hari Tanpa Belanja 2006

Buy Nothing Day (BND) Campaign atau Kampanye Hari Tanpa Belanja (HTB)adalah kampanye tahunan yang kami adakan sejak tahun 2002. Pada awalnya, kampanye tersebut diinisiasi oleh Adbusters (Kanada) dan telah mendapat respon dari para 'cultural jammers' di seluruh dunia termasuk kami di Indonesia. Untuk mengetahui lebih lanjut Buy Nothing Day, silahkan buka www.adbusters.org, atau http://kunci.or.id/htb.

Tahun ini, HTB/BND akan kami adakan pada 21-22 November 2006, bertempat di Kinoki, sebuah ruang alternatif untuk sinema di Yogyakarta.

Beberapa kegiatan yang kami lakukan adalah pameran instalasi tentang sampah oleh Angki Purbandono, diskusi, serta peluncuran blog tentang kisah belanja orang Indonesia (http://kisahbelanja.blogspot.com). Blog ini kami luncurkan untuk mendokumentasikan kisah belanja orang Indonesia, perilaku konsumsi orang Indonesia, dan untuk masa depan, kami mengharapkan blog ini bisa menjadi rujukan bagi siapa saja yang ingin melakukan studi tentang konsumsi atau studi budaya materi dalam konteks Indonesia.

Nantikan transkrip diskusi "Hari Tanpa Belanja sebagai Gerakan Sosial Baru" bersama Dr Nicolaas Warouw, di blog ini!

Garbage From Jogja (1)

Angki Purbandono, seniman, tinggal di Yogyakarta, berpartisipasi dalam rangkaian Hari Tanpa Belanja 2006 yang berlangsung di Yogyakarta dan dilaksanakan oleh KUNCI Cultural Studies Center. Sampah, dan barang-barang bekas lain, menempati posisi penting dalam karya-karya Angki Purbandono selama tiga tahun terakhir. Kali ini Angki menyodorkan pertanyaan kepada kita semua tentang sampah, sisa dan jejak utama konsumsi--dan mungkin kapitalisme--yang kita produksi sehari-hari. Berapa banyak sampah yang kita produksi sehari-hari, seperti apakah wujudnya, dan dimanakah jalan akhir petualangan sampah kita?

(Foto dokumentasi: Panitia Hari Tanpa Belaja 2006, KUNCI Cultural Studies Center)

Garbage From Jogja (2)

Pernahkah engkau benar-benar mengamati sampah-sampah yang kamu hasilkan selama 1 hari? Kertas dan daun pisang bekas bungkus sarapanmu, bungkus rokok kretekmu, plastik bekas bungkus Chiki atau Cheetos, plastik bekas kue muffin merek Stella (beli di Circle K), bungkus Indomie goreng, tutup botol teh botol sosro (kecanduan teh botol, dalam sehari minimal harus minum 2 botol), plastik bungkus keripik usus goreng, dsb. Berapa macam merek dan berapa jumlah kalori serta lemak yang kita konsumsi dalam 1 hari saja?

(Foto dokumentasi: Panitia Hari Tanpa Belanja 2006, KUNCI Cultural Studies Center)

Garbage From Jogja (3)

Detil dari karya instalasi Angki Purbandono.

(Foto dokumentasi: Panitia Hari Tanpa Belanja 2006, KUNCI Cultural Studies Center)

Garbage From Jogja (4)

Selain memamerkan karya instalasi, Angki Purbandono juga mengajak pengunjung pameran dan mereka yang "merayakan" Hari Tanpa Belanja 2006 di Kinoki (Yogyakarta), 21-22 November 2006 lalu untuk ikut berinteraksi aktif dengan mendokumentasikan sampah yang mereka hasilkan selama beraktivitas pada hari itu. Sampah sehari-hari yang sudah diletakkan di plastik, lantas ditempelkan ke dinding.

(Foto: Dokumentasi Panitia Hari Tanpa Belanja 2006, KUNCI Cultural Studies Center)

Mengkonsumsi Game

Mengkonsumsi game tentu berbeda rasanya dengan mengkonsumsi baju atau sepatu. Apalagi jika kita bicara tentang mereka yang sudah sampai taraf kecanduan dengan game. Rasanya mungkin seperti kecanduan sesuatu yang tidak berwujud tiga dimensi, tidak senyata seperti baju/sepatu/jam tangan, tetapi ini sepenuhnya berurusan dengan hasrat dan gairah--untuk menang, memuaskan rasa penasaran, dsb. Berikut ini adalah tiga cerita tentang tiga kisah konsumsi game. Selamat membaca!

Nuraini Juliastuti

Aku dan Game (1)

Aku memang suka game dari dulu, dan menurutku game itu memang selalu dirancang untuk membuat orang ketagihan. Yang membedakan game-game jaman sekarang dengan dulu adalah grafis dan jalinan ceritanya (narasi dan struktur cerita) yang sudah banyak berkembang.

Jenis game yang aku suka: Winning Eleven. Sebelumnya aku suka main game-game perang. Aku tidak suka game-game strategi, karena menurutku hidup sehari-hariku sudah cukup rumit. Aku mengelola ruang alternatif—Kedai Kebun Forum—yang bagiku seperti game yang harus kumainkan seumur hidup. Untuk bermain-main, aku suka game dengan awal dan akhiran yang jelas. Winning Eleven itu seperti suspended victory. Kalau tim sepak bola kesayanganmu kalah, mainkan saja di alam virtual dan menangkan!

Aku tidak merasa sekedar bermain-main dengan mesin ketika main Winning Eleven, tetapi justru menurutku permainan ini mempererat hubungan antar manusia karena bisa dimainkan bersama-sama dan kita bisa saling berinteraksi disitu.

Narasumber: Agung Kurniawan, seniman, tinggal di Yogyakarta.
Pewawancara: Nuraini Juliastuti (KUNCI Cultural Studies Center)

Aku dan Game (2)

Gue kenal game dari kecil, dan sudah main game online sejak awal 2003. Jenis game favorit yang gue maenin adalah Ragnarok online, Ts-online. Dalam sehari rutinnya 12 jam, kalo lagi ngebet bisa 15-20 jam, semalam/sekali maen minimal 15rb, kalo lagi lebih ya bisa sampe 30rb semalam. Biaya itu terutama buat kebutuhan tambahan kayak makan dan minum dll.

Buat gue ngegame itu untuk memenuhi rasa puas dari hobby, dan lebih banyak temen baru. Untuk bisa memenuhi kebutuhan ngegame, yang jelas butuh 1 set komputer yang spesifikasinya mendukung game, dan tersambung internet. Dan semua sudah bisa gw dapet di warnet gamestation. Kalo di rumah yang kurang koneksi internetnya. Saat ini yang gue maenin cuma game-game online aja: ragnarok online, ts online, tantra, RYL,Getamped.

Teknologi buat gue adalah sesuatu yang luar biasa, hanya saja jangan sampe salah digunakan tapi gw ga setuju kalo teknologi-teknologi tertentu seperti game online dimainkan oleh anak dibawah umur. Seharusnya ada batasan umur dalam menggunakannya. Karena di game online kita tidak pernah tau umur yang maen kecuali mungkin yang udah lama kenal. Karena banyak juga anak di bawah umur yang maen hampir sama waktunya dengan orang dewasa, yang begadang tiap malam. Kayaknya gak pantes anak kecil begadang sama orang dewasa tiap malam.

Ngegame punya pengaruh besar banget buat gue, sampe rela ga makan hanya untuk bisa maen didepan komputer. Rasanya hmm seperti ga ketemu pacar sehari ^^ kalo nggak ngegame, pokoknya bener-bener yang penasaran dan BT karena ga bisa maen. Game impian gue adalah game online yang se-real mungkin dengan kehidupan nyata. Dimana kita bisa menjadi seseorang yang kita inginkan dengan kehidupan-kehidupan seperti di dunia nyata ^^.

Yang lucu-lucu soal game-online menurut pengalaman gue; ada temen cowok di game online yang suka banget sama cewek di game itu (karakter perempuannya) dan temen gw itu percaya banget kalo orang itu cewek. Setelah beberapa minggu kenal, dan deket di game itu, dia ketemu sama orang yang maen satu warnet dengan karakter perempuan itu, lalu bilang kalo yang maenin karakter itu ternyata cowo. Hahaha.

Persiapan maen game itu tergantung dari keadaan keuangan. Kalo lagi ada lebih, yang jelas minuman dan cemilan itu harus ada, tapi kalo lagi kekurangan ya sebotol aqua cukup^^. Bahkan kalo lagi menderita lagi, ya sampe bela-belain ngutang ama temen dulu..

Para pengguna game online di warnet itu paling benci / anti sama komunitas pengguna internet untuk kebutuhan download/upload dan chatting hehe, karena kegiatan itu bisa menggangu koneksi jalannya game online. Karena koneksinya jadi berat dan gamenya jadi lambat. Temen gw ada yang nginep 4 hari nonstop di warnet gak pulang-pulang. Yang jelas yang kaya gitu itu butuh modal gede, buat bayar warnet dan mesen makan dan minum dan kalo mau mandi numpang di toilet warnet,tapi kebanyakan gak mandi ^^.

Para gamers di game center itu umumnya (yang gw tau malam doank karena gw maen malem doank, siang kalo ada janjian aja.^^) itu biasanya gak lepas dari jaket, sebotol aqua, dan cemilan. Kalo gak bawa itu ya bawa uang lebih buat beli makanan dan minuman buat tengah malem, dan juga sebagian selalu membawa bawa buku pegangan atau petunjuk dalam memainkan beberapa game online tertentu.

Narasumber: Inoe (23 tahun), Mahasiswa Manajemen Universitas Gunadharma, Jakarta. Pewawancara: Anissa Muharami (KUNCI Cultural Studies Center)

Aku dan Game (3)

Gua maen game sejak balita kali ye pas jaman Atari. Gua sih suka RPG (Role playing games) & banyak lagi yang gua suka tuh, tapi yang paling favorit mungkin Suikoden Series. Kalo ada game yang bagus gua bisa maen 8 jam-an sehari. Kalo ga ada yang bagus yah paling cuma maen bentar. Kegiatan gue sekarang project, project
and project ... trying to make sense of the evilness of category theory :)

Game buat gue adalah salah satu cara gua untuk relaks, the satisfaction when u defeat the hideous beyond belief enemy and kill boredom. Saat ini gue ngegame PS2. Gua ga suka komputer games. Gua lebih suka console games. Koleksi game gua sekarang sih palingan 100. Kalo diitung dari yang jaman zebot hmm lost count mate :)

Game nggak terlalu berpengaruh atas aktivitas gua sehari-hari. At the end of the day u realize that you live in reality. Sejauh ini sih gua nggak punya game impian. There's no such thing as a perfect game. If there was, u took the fun out of it. Gadget lain yang gue pake adalah laptop. Tapi gua pake itu lebih buat tugas-tugas kuliah. Bukan buat games.

Narasumber: Oktaviandi Adi Nugraha (23 tahun), Master of Enginering Computing, University of Wales Swansea, Wales, UK.

Pewawancara: Anissa Muharami (KUNCI Cultural Studies Center)

Thursday, November 23, 2006

Lintasan Barang-barang Bermerek pada Dewi Moran

Bagaimanakah perkembangan konsumsi barang-barang bermerek di Indonesia? Sebersit lintasannya bisa kita baca pada perjalanan hidup Dewi Moran yang bergelut di dunia perdagangan barang-barang bermerek itu sejak sekitar seperempat abad lalu.

Kalau disuruh cerita, Dewi pasti masih bisa mengingat, bagaimana, misalnya, pada tahun 1970-an anak-anak muda terpesona oleh perubahan sosial besar yang dibawa Orde Baru. Gaya hidup dengan orientasi Barat mendapat keleluasaan gerak setelah orde sebelumnya, yakni Orde Lama, tumbang. Anak-anak muda mulai memakai Levi’s. Distributornya, alias orang pertama yang menghadirkan produk itu ke Indonesia adalah Nico Moran, suami Dewi.

Dalam wawancara dengan Kompas pada awal tahun 1990-an, Dewi masih bisa mengingat, bagaimana mereka membuka jeans corner di pusat perdagangan Sarinah di Jalan Thamrin. Atau bagaimana ketika mereka membuka stan di Jakarta Fair, yang waktu itu menjadi pusat sosialisasi barang-barang baru. Anak-anak muda membeli celana Levi’s dengan uang receh hasil tabungan. "Mereka hitung uangnya di depan kami terdiri dari uang-uang receh, pokoknya genap Rp 7.500," cerita Dewi kala itu, mengenang harga celana Levi’s tahun 1970-an.

Atau seperti dituturkannya dalam wawancara kembali pekan lalu di Jakarta, di kantornya, PT Mahagaya Perdana (MGP), yang dari suasananya menunjukkan makin berkembangnya bisnis barang-barang bermerek ini (MGP menjadi pemegang waralaba di Indonesia merek-merek seperti Prada, Tod’s, Jimmy Choo, dan tentu saja yang sejak dulu diasosiasikan dengan mereka, yakni Etienne Aigner).

MGP adalah pemegang franchise pertama di Indonesia, dalam hal ini merek Etienne Aigner pada awal tahun 1980-an (apakah Anda jadi teringat, misalnya siapa pacar Anda yang sepatunya waktu itu bermerek Etienne Aigner?).

"Ketika kami membuka toko pertama kali, pengunjung pusing, lho kok semua barangnya Aigner?" ujar Dewi mengenai toko/butiknya yang waktu itu berada di mal mewah pertama di Jakarta, yakni Gajah Mada Plaza.

Saat itu, belum ada toko untuk satu merek barang. Yang ada adalah toko-toko yang menjual berbagai barang bermerek sekaligus yang dagangannya adalah hasil kulakan ke luar negeri, termasuk dari Bangkok yang waktu itu menjadi "pusat" barang-barang tiruan. Atau, barangkali masih ada yang ingat, orang Jakarta waktu itu biasa pergi ke Pasar Ular di Jakarta Utara untuk mencari barang-barang yang dianggap bermerek.

"Jadi, pertama kali kami harus mengajari konsumen," katanya. "Mereka juga banyak yang belum tahu, mana barang asli alias original dan mana palsu," katanya.

Tentu saja juga takjubnya sejumlah orang, bagaimana barang-barang, seperti tas, sepatu, dompet, dan semacamnya, bisa begitu mahal harganya.

Luar biasa

Kini, keadaan sudah jauh berbeda. Untuk hal konsumsi, Dewi menggambarkan konsumen saat ini sangat paham seluk-beluk barang-barang bermerek (pernah ada seloroh, turis-turis dari berbagai negara kalau ke Paris mengunjungi galeri-galeri seni rupa, turis Indonesia cukup mengunjungi Galerie Lafayette—mal terkenal di Paris). Jenis barang apa saja yang akan keluar tahun depan mereka sudah tahu. Itu tentu, antara lain, disebabkan oleh meruyaknya informasi.

"Jakarta menjadi internasional sekali," komentar Dewi. Beberapa kota besar lain mengikuti, taruhlah semacam Surabaya. "Surabaya juga, bahkan kadang kelebihan, ha-ha..." komentarnya.

Dari segi produk, juga terjadi perkembangan luar biasa. Dewi sempat menyinggung beberapa hal yang sifatnya agak teknis, misalnya menyangkut material yang digunakan produk-produk fashion sekarang.

Mengenai produk ini, dia mengamati, pada masa lalu produk barang bermerek modelnya seperti hanya dikhususkan untuk kalangan dewasa (mature). "Sekarang, menjadi sangat muda," katanya. "Saya sendiri untuk sehari-hari favorit saya Mango," ucapnya seraya mengomentari kualitas barang itu sebagai "value for money".

Dia tertawa ketika dikomentari mengenai penampilannya. "Saya punya staf muda-muda, jadi terbawa. Anak-anak saya juga laki-laki semua," ujarnya tertawa.

Hal paling penting dalam bisnis barang-barang bermerek ini, menurut Dewi, seseorang harus punya selera. "Itu yang penting," katanya. "Kita punya taste, dan juga harus sadar, itu bukan yang sekadar saya senang," tambahnya. Maksudnya, selera itu juga menyangkut untuk melayani konsumen.

Dia menceritakan, bagaimana sejak semula dia belajar banyak mengenai dunia fashion. Ketika pertama kali terjun ke bisnis ini dan mulai belajar, misalnya, ukuran yang paling umum taruhlah menyangkut ukuran sepatu, baju, dan lain-lain. Katanya, "Kita harus tahu, best selling size (ukuran yang paling laku terjual) itu berapa." (Sekadar pengetahuan untuk para lelaki, kalau Anda mau membelikan sepatu istri atau pacar, ukuran yang paling umum adalah antara 37-37.

Masih banyak lagi yang dia pelajari, bahkan terus sampai kini. "Selalu ada sesuatu yang baru, selalu ada yan tak pernah kita pikirkan," katanya mengenai proses belajar yang terus-menerus itu.

Apa yang membuat Dewi seperti tak pernah lelah dengan dunia bisnis barang-barang bermerek yang digelutinya itu? "I love what I'm doing (Saya mencintai apa yang saya kerjakan)...," tukasnya.

Oleh: Bre Redana dan Ninuk Mardiana Pambudy
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0611/19/urban/3103061.htm

Tuesday, November 21, 2006

Gadis Suplemen

Tanyakan benda apa yang paling penting bagi Farah Wardani (31 thn), dan ia pasti akan menjawab: vitamin dan suplemen. Berikut ini daftar aneka vitamin dan suplemen yang secara rutin dikonsumsinya.

Untuk kategori vitamin, Farah biasa meminum: 1) Natur Epo, berfungsi untuk memperlancar peredaran darah dan mencegah penuaan dini pada kulit. Natur Epo ini diminum 1 kali sehari.; 2) U-max C, vitamin C 500 mg, dan diminum 2 kali sehari; 3) Seaquill Silk Skin, ini adalah anti oksidan, diminum 1 kali sehari. Seaquill ini dipakai bergantian dengan multivitamin komplet bernama Centrum. Selain ketiga vitamin diatas, Farah juga mengkonsumsi suplemen lain semacam Supradyn, Beroca, atau Sangobion.

Sementara untuk perawatan kulit, Farah memakai perlengkapan berikut ini: 1) L'oreal extreme revitalift, untuk perawatan wajah, dan dipakai pada malam hari; 2) Evion cream, ini adalah vitamin E untuk wajah, yang dipakai pagi dan malam hari; 3) untuk siang hari, Farah harus memakai Melanox Spf 30; 4) untuk badan, Farah biasa memakai Nivea Spf 30. Ini khusus dipakainya pada siang hari; 5) untuk malam hari, Farah memakai Skinwhite sebagai perawat badannya; 6) L'oreal revitalift untuk menghilangkan bekas hitam di kelopak mata; 7) untuk mandi, ia memakai lulur mandi Purbasari. ; 8) dan tidak lupa, ia juga harus memakai salep dari dokter untuk menghilangkan bekas-bekas gigitan nyamuk di kaki.

Vitamin dan suplemen yang dikonsumsi oleh Farah mempunyai variasi jenis harga yang beragam: 1) Natur Epo (70 ribu rupiah per 30 kapsul. Bisa dipakai selama 1 bulan); 2) U-max C 500 mg (15 ribu rupiah per 2 minggu); 3) Seaquill Silk Skin (220 ribu rupiah per 1 bulan); 4) Centrum (205 ribu per 6 bulan). Karena harga Seaquill Silk Skin dan Centrum ini cukup mahal, biasanya Farah memakai fasilitas asuransi kesehatan keluarga, sehingga ia bisa menekan harganya; 5) L'oreal extreme revitalift (150 ribu rupiah); 6) Evion cream (15 ribu rupiah); 7) Melanox Spf 30 (30 ribu rupiah); 8) Nivea Spf 30 (50 ribu rupiah); 9) Skinwhite (15 ribu rupiah); 10) Salep kulit dari dokter (30 ribu rupiah); 11) L'oreal revitalift (60 ribu rupiah); 12) Lulur mandi purbasari (7 ribu rupiah).

“Saya ini perokok berat, dan punya kebiasaan minum kopi. Selain itu saya juga tinggal di Jakarta yang penuh polusi. Sehingga saya merasa harus melakukan sesuatu yang ekstra terhadap kulit dan tubuh saya. Karena itu saya lebih menekankan pada vitamin dan suplemen yang berfungsi sebagai anti oksidan dan anti radiasi (mengandung Spf tinggi),” kata Farah.

Urusan beli sepatu atau baju atau ganti model rambut terbaru, tidak dianggap jadi sesuatu yang penting bagi Farah. Karena menurutmua, berdandan ala dia adalah dengan cara mengkonsumsi vitamin dan suplemen yang cocok baginya. Perawatan badan lebih penting, untuk menjaga tetap sehat. Kalaupun ia pergi ke salon, maka yang biasa dilakukannya adalah facial aquapressure dan pijat refleksi untuk muka.

Selain merasa lebih sehat, Farah merasa dirinya saat ini menjadi lebih fasih jika diajak bicara soal vitamin dan suplemen. Ia akan senang sekali kalau menemukan lotion baru untuk kulit tubuh dengan Spf 50 atau lebih tinggi lagi.

Tujuan utama Farah yang pertama-tama adalah ingin tetap sehat, bukan ingin dianggap cantik oleh orang lain.

Wawancara: Nuraini Juliastuti

Janu dan Adidas Samba

Butuh waktu lama buat Janu untuk mendapatkan sepatu Adidas Samba ini. Nantikan kisah perjuangan Janu mendapatkan sepatu ini segera di blog ini! (Foto: Angki Purbandono)

Janu dan Basquiat

Janu mengenakan baju hangat bergambar logo Jean-Michel Basquiat. Temuan terbarunya di awul-awul (Foto: Angki Purbandono).

Saturday, November 18, 2006

Gadget Mania (2)

Gue seneng gadget stuff sejak jaman awal-awal SMA. Semenjak HP Nokia 5110 muncul, gw suka ngutak ngatik HP dan selalu pengen tahu tentang teknologi terbaru. Gw sekarang pake HP Nokia 7650 karena pertama kalinya Nokia ngeluarin HP built in camera dan colornya juga udah bagus. Gw juga pake PDA phone dari Palm Treo 650. Gw pake Treo karena multifunction, bisa PDA bisa juga buat nelpon. Yg pasti kelebihan dari Treo 650 adalah qwerty keyboard dan touch screen, jadi kalau mau sms atau chatting gampang ngetiknya sama notebook Acer gw tipe 521te.

Gadget buat gue penting sekali, karena dengan gadget hal-hal yg kita anggap mustahil itu ternyata bisa terjadi. Contohnya ipod. Siapa yang sangka kita bisa bawa benda sekecil itu untuk mendengar 1000 lagu. Contoh lain adalah digital camera. Siapa yang menyangka kalau biasanya kita foto dan biasanya harus memakai klise, sekarang hanya tinggal masukin ke memori card/cd/disket untuk penyetakan dan transfernya bisa langsung dari HP memakai infrared/bluetooth.

Lewat gadget, yang pasti gw dapet pengetahuan tentang teknologi terbaru yang sedang berkembang saat ini dan bagaimana cara menggunakan gadget tsb. Jadi kalau orang ngomongin teknologi gak gaptek-gaptek bangetlah. Yang pasti semua gadget yang gw punya sangat mendukung aktivitas gw. Mulai dari HP, PDA phone sampai dengan notebook gw.

Sampai saat ini belum ada lagi gadget yang gw pengen. Soalnya belum banyak feature yang berubah dari gadget-gadget yang ada. Yang pasti secara umum teknologi memberikan segala informasi tambahan buat gw. Apalagi teknologi internet. Apa yang elo pengen tau semua ada di internet. Untuk game, gw seneng ngegame karena memberikan kesenangan sendiri aja buat gw. Multipayer game misalnya. Gw bisa ngobrol sama orang se-Indonesia dengan bermain game.

Teknologi menurut gue adalah suatu pengembangan dari pemikiran manusia yang berguna untuk menyelesaikan dan mempermudah permasalahan manusia. Jaman sekarang gadget mempengaruhi segala aktivitas gw.

Yang pasti kalau HP gw ketinggalan rasanya seperti ada yang hilang gitu. Pengen cepet-cepet balik ke rumah. Teknologi impian gue, uhmm manusia robot udah ada, semua teknologi yang gw bayangin udah ada sih. Tapi baru di Jepang. Sebenarnya yang sekarang gw impikan bisa cepet-cepet ada di Indonesia adalah jasa operator yang menyediakan telepon sambil bisa lihat muka orangnya yang menelepon secara online, seperti iklan Mobile 8-Fren..

Untuk HP, tadinya gw sempet pake Matrix karena waktu itu sempet ada flat tariff 25rb untuk pakai GPRS sepuasnya. Tapi setelah Indosat ganti peraturan baru untuk flat tariff GPRS 200rb sepuasnya, gw jadi ganti kartu lagi ke Mentari, dan untukGPRS-nya gw pake IM3..

Gadget mania yang pasti pakaiannya seperti orang biasa. Tapi bawaannya yang pasti gadget-gadget terbaru di pasaran dia udah punya. Soal omongan yang bilang kalo gadget mania itu nerdy, sebetulnya dibilang nerdy itu tidak. Justru gadgeter itu orang-orang yang menurut gw orang yang menyenangkan karena bisa menanyakan apa-apa yang gw gak tau. Kalo dibilang gadget freaks enggak juga, tapi kalau gw suka dan bisa beli, ya gw beli. Cuma kalo gw ga bisa beli paling gw hanya bisa mengagumi kecanggihan gadget baru aja, dan itu gak berlangsung lama. Soalnya kan tau sendiri perkembangan gadget tuh kayak gimana. Ada yang baru, sebentar lagi muncul lagi yang baru. Gadget yang tadinya kelihatan bagus banget jadi terlihat biasa aja.

Qia, 23 thn (Jakarta), wawancara dilakukan oleh Anissa Muharami.

Gadget Mania (1)

Untuk urusan gadget terutama HP gw lumayan ngerti. Soalnya setiap ada teknologi terbaru tentang HP, pasti gw pengen tau dan kalo gw tertarik ya bikin gw kepengen beli. HP itu perlu banget buat gw. Pernah gw ketinggalan dompet, tapi gw bersyukur banget bukan HP gw yang ketinggalan. Soalnya dengan HP, gw bisa minjem duit hehe! Padahal SIM gw di dompet.

Gw udah sering banget gonta ganti HP. Kira-kira dari pertama gw punya HP, gw dah ganti lebih dari 20x!! Konsumtif banget, but it's fun! Alasannya gw suka gonta ganti lebih dari segala gaya bo. Kalo punya sesuatu yang baru dan belum diketahui banyak orang emang merupakan suatu kebanggaan. Tapi lebih penting lagi pengetahuan tentang gadget bertambah. Jadi ga sekedar gaya, tp lo bisa memaksimalkan HP yang lo punya.

Pertama kali gw punya HP kelas 1 SMA, which is on 1998, merknya Motorola Startac turunan bokap gw. Saat ini gue pake Nokia 9500. Dengan HP gw sekarang ini udah gw pake buat edit skripsi, buka internet baik pake GPRS maupun pake wi-fi, dengerin mp3 dan yang paling gw suka, ngebantu gw presentasi waktu gw sidang skripsi. Seneng banget waktu penguji gw bilang gw bener2 manusia millenium hahaha!

Gw nyebut ni HP dengan sebutan HP anti bete! Teknologi sekarang cepet banget berkembang! So, menurut gw lo harus nyesuain diri sama setiap perubahannya dan it really makes ur life easier dan ngga gaptek tentunya. Cerita gue bisa punya HP absolutely NABUNG sendiri. Karena gw bisa dapat duit lebih dari hasil jualan software ke temen-temen. Di HP gw yang terakhir ini ortu gw nambain 2 jt, they never complain and they thought it's positive to me..b'coz gadget makes their daughter happy staying home hahaha! HP favorit gw ya Nokia 9500 ini. Alasannya ni hp lengkap di genggaman tangan lo.

Terus gw juga suka XDA 2 Mini karena selain compatible sama Microsoft, touchscreen and so much Women!! Bisa dibilang gw gadget freaks. Soalnya menurut gw itu sah-sah banget, segi positivenya banyak banget asal ga make dari duit hasil ngutang aja hehe!

Experience... pernah gw pake SE P800 dan gw sayang banget karena warnanya yang baby blue dan lumayan lengkap walaupun agak kaku dari segi model dan kurang fleksibel. Tapi HP itu raib di perpus kampus gw yang seharusnya berisi dengan orang-orang yang berilmu. Dari situ gw sadar banget kalo gw harus bener-bener ngejaga apa yang gw punya apapun bentuknya.Oia satu lagi, gw pernah diajak kenalan sama cowo yang lumayan ganteng. Tapi sayangnya dia lebih tertarik dengan hp gw!!!

Muthia Muffida, 23 thn, (Jakarta), wawancara dibuat oleh Anissa Muharami.

Aku dan Kartu Kredit

Kartu kredit atau credit card adalah produk Bank yg menawarkan jasa kredit menggunakan kartu plastik. Kita bisa bertransaksi secara cash ataupun non cash (tarik tunai). Kita diajak berhutang pada Bank dengan cara yg lebih bergengsi. Umumnya orang akan bangga jika sudah mempunyai kartu kredit. Apalagi jika dia sampai mempunyai lebih dari satu kartu kredit.

Awalnya target market kartu kredit adalah kalangan atas, karena Bank percaya mereka pasti mampu membayar dana dipergunakan dari kartu kredit mereka, ataupun minimal paymentnya. Dan syarat-syaratnya juga agak susah, yaitu keterangan dari HRD ditempat kerja calon Debitor, berikut slip gajinya. Dan Bank juga memberi batasan minimal gaji pertahun untuk seseorang bisa mengajukan permohonan kartu kredit ini.

Persyaratan ini kemudian semakin mudah dengan pertimbangan Bank akan memberikan limit dana kecil, dengan diimbangi divisi kolektor yg galak dan debt kolektor yg kejam tanpa kompromi.

Awal kertertarikanku dengan kartu kredit saat aku bekerja di salah satu kantor di kawasan Sunter (PT.R). Ada marketing dari Bank penerbit kartu kredit yg menawarkan apakah kami ingin membuat kartu kredit, sembari membagi-bagikan formulir. Beberapa teman dengan antusias mengisi formulir dan melengkapi persyaratanya.

Selang beberapa waktu kemudian ada teman yg telah medapatkan approval dan mendapatkan kartu kreditnya ada pula yg
permohonannya ditolak. Saat itu aku tidak punya keberanian untuk mengajukan permohonan jartu kredit karena gajiku masih dibawah standart yg disayaratkan oleh Bank penerbit kartu kredit ini.

Beberapa bulan kemudian aku pindah kerja ke PT. M di daerah Ancol, dan mendapatkan gaji yg lebih baik dari tempat kerjaku sebelumnya. Dan aku mulai tergoda untuk memiliki kartu kredit. Kartu kredit pertamaku aku dapatkan atas bantuan teman dari adikku yg memang bekerja sebagai marketing kartu kredit di Bank S. Dan aku tidak kesulitan untuk melengkapi persyaratannya karena HRD Managerku sangat kooperatif.

Ketika aku menunggu dengan tidak sabar apakah permohonanku dikabulkan atau tidak, aku iseng mengajukan permohonan kartu kredit di Bank H. Dan ketika aku sedang menunggu kedatangan kartu kreditku dari Bank H, ternyata justru aku mendapatkan kartu kredit dari Bank S dengan limit 4 juta. Beberapa hari kemudian datanglah kartu kredit keduaku dari Bank H degan limit yg sama 4 juta.

Mulailah kegiatan konsumtifku diwarnai dengan penggesekan kartu kredit. Mulai dari membeli TV, belanja bulanan, membeli buku,membeli baju semua pakai kartu.

Dan karena aku memiliki 2 kartu, adikku menawarkan diri bagaimana jika kartu yg lain dia yg memakai, dan dia pula yg akan bertanggung jawab dengan pembayarannya. Dengan sukarela kartu kredit dari Bank H aku berikan penggunaannya sepenuhnya ke adikku. Tetapi kartu tetap ditanganku, sehingga ketika dia akan belanja, aku akan menemani dia untuk menggesek kartu itu, dan dia tidak perlu memalsukan tanda tanganku.

Ketika kartuku sudah limit, aku berkeinginan untuk memiliki kartu kredit lagi, karena aku merasa bahwa aku hanya mempunyai satu kartu kredit, tidak ada salahnya kalau aku punya dua kartu kredit. Dan kartu kredit yg ketiga ini aku dapatkan dari program member get member dari Bank C dengan limit 6,5 juta. Dan karena kebutuhan keluarga mendesak aku juga mengajukan kredit tanpa agunan dari Bank A. Dan kebetulan juga disetujui sebanyak 4 juta rupiah.

Dengan memiliki 3 kartu kredit dan 1 KTA total hutangku adalah 18,5 juta rupiah. Aku harus merelakan 75% dari pendapatanku untuk membayar cicilan KTA beserta minimal payment kartu kreditku. Aku tidak berani meyisihkan uangku untuk membeli baju, atau sekedar jalan-jalan ke Mall (menghindari godaan shopping).

Kegiatan financialku ini bisa berjalan dengan lancar, jika aku selalu dalam kodisi sehat, sehingga tidak ada extra pengeluaran untuk dokter & obat. Tetapi ketika aku sakit, dan terpaksa harus ke dokter da membeli obat, mulailah aku terjebak dalam ritme financial yg paling buruk gali lubang tutup lubang, aku mencari kreditor baru(teman / saudara) yg bersedia meminjamkan uangnya yg akan kupakai untuk membayar hutangku, dan ketika aku menerima gaji, aku segera melunasinya. Hal ini sering kali terjadi, dan adikku juga ingkar janji, ketika kartunya sudah limit, dia kembalikan tanggung-jawab pembayaran hutangnya padaku, dan aku tidak bisa mengelak karena yg tercantum namanya di kartu kredit itu adalah aku.

Semakin berat bebanku, akhirya aku minta pertolongan Kakak untuk meringankan sementara bebanku ini. Dia bersedia meminjamkan uangnya utuk menutup salah satu kartuku, kemudian aku mengembalikannya dengan mencicil sesuai kemampuanku.

Adek (Jakarta)

Friday, November 17, 2006

Wimo dan Indomie

Petikan wawancara tentang perilaku dan pola konsumsi seseorang terhadap Indomie.

Nuraini Juliastuti (NJ): Seberapa sering kamu makan Indomie?
Wimo Ambala Bayang (WAB): Aku makan Indomie hampir setiap hari. Terutama yang aku ingat persis, sejak 8 bulan ini aku makan Indomie tiap hari.

NJ: Mengapa kamu suka Indomie?
WAB: Indomie itu menurutku selalu membangkitkan selera makan. Kalau aku sedang merasa bosan makan makanan yang biasa, aku selalu berpikir untuk makan Indomie. Terutama aku suka sekali makan Indomie goreng. Kadang Indomie aku perlakukan seperti semacam snack atau jajan gitu. Apalagi kalau dimakan habis merokok, wah rasanya jadi semakin enak. Tapi ini tergantung sih. Kalau sedang punya uang, maka Indomie akan kuanggap jajan. Tapi kalau sedang tidak punya uang, makan Indomie kuanggap seperti makan besar.

NJ: Apa benar lebih irit makan Indomie?
WAB: Iya dong. Daripada makan di warung, masak sendiri 2 bungkus Indomie dengan krupuk 2 buah, dijamin kenyang dan enak.

NJ: Bisa nggak mendeskripsikan Indomie?
WAB: Rasanya gurih-gurih. Indomie goreng enak karena ada renyah-renyahnya, kemepyar gitu. Kalau makan Indomie rebus, musti pakai sambal. Terus mie-nya sedap, seperti ada margarinnya. Dan terutama baunya yang selalu bikin kepingin.

NJ: Pernah memikirkan efeknya terhadap tubuh nggak?
WAB: Sebenarnya aku selalu takut dengan efeknya. Tapi gimana lagi? Indomie itu makanan rekreatif menurutku. Selalu diimpi-impikan.

Thursday, November 16, 2006

Indomie rebus kesukaan kita

Semangkuk Indomie rebus pakai telor (Foto: Angki Purbandono)

Diantara tumpukan baju "awul-awul"

Nuning di tengah tumpukan baju awul-awul. Lokasi: toko baju awul-awul di Jalan Ibu Ruswo, Yogyakarta (Foto: Angki Purbandono, September 2004)

Hahan

Hahan sedang bergaya dengan salah satu kostum awul-awulnya. Rompi jeans: beli di salah satu toko awul-awul di Magelang, dengan harga 10.000 rupiah (Foto: Angki Purbandono)

Wednesday, November 15, 2006

Hahan dan "Awul-awul"

Paling tidak ada empat alasan mengapa Hahan (Uji Handoko), 23th, mahasiswa Seni Grafis, angkatan 2002, Institut Seni Indonesia (Yogyakarta), lebih memilih untuk belanja baju di toko-toko pakaian bekas daripada di mall: 1) murah; 2) model baju yang unik, sehingga sulit dicari kembarannya dengan orang lain; 3) kemungkinan mendapatkan kaos-kaos kelompok musik secara tidak sengaja lebih besar; 4) seringkali mendapatkan ide untuk mendesain kaos/baju dengan melihat model kaos/baju di toko pakaian bekas.

Toko pakaian bekas ini mendapatkan penyebutan yang berbeda-beda. Di Jogja, masyarakat menyebutnya dengan sebutan "awul-awul" (ini untuk menunjuk pada teknik pemilihan baju yang selalu didapatkan dengan cara di"awul-awul", dibongkar sekuat tenaga seperti mencari barang berharga yang tersembunyi di balik tumpukan baju yang menggunung). Sementara di Makassar, masyarakat menyebutnya dengan "cakar" alias cap karung. Tentu ini untuk menunjuk pada cara bagaimana baju-baju ini dikemas sebelum dijual, yaitu dimasukkan dalam karung-karung berukuran besar. Pedagang kemudian memilah-milah baju dalam karung dan memajangnya di toko.

Perkenalan pertama Hahan dengan awul-awul diawali dari kelas 3 SMP. Saat itu, sang kakek mendapat sumbangan berupa bahan makanan pokok dan beberapa karung baju bekas untuk dijual di suatu bazaar di pondok pesantren di Magelang. Awalnya Hahan mengira bahwa itu adalah baju-baju bekas dari Indonesia, sampai kemudian ia menyadari bahwa karung ini berisi baju-baju bekas yang sudah berjalan jauh dari luar negeri.

Sulit untuk mengatakan secara pasti berapa jumlah uang yang ia belanjakan untuk membeli baju awul-awul ini. Yang jelas, paling sedikit dengan uang 1500 rupiah ia sudah bisa mendapatkan satu buah kaos. Jumlah uang terbesar--seingatnya--yang pernah dibelanjakan di toko awul-awul adalah sebesar 80.000 rupiah.

Membeli baju di awul-awul adalah salah satu metode yang sering dipakai Hahan untuk mendapatkan baju baru. Metode lain untuk mendapatkan baju baru adalah dengan cara menyablon kaos sendiri atau mendapatkan doorprize berupa kaos/pakaian apapun dari teman.

Nuraini Juliastuti

Monday, November 13, 2006

Best Buy

"Best Buy" di Matahari Dept. Store, Malioboro Mall, Yogyakarta (Foto: Angki Purbandono, 2004)

Warung

This is how the people arrange their "warung" in Yogyakarta (Foto: Angki Purbandono, 2004)

Berapapun Harganya, Asal Suka, Beli!

Ratusan produk fashion bermerek telah memenuhi lemari. Toh, mereka terus berburu ke mancanegara. Apa saja produk favorit mereka? Berapa duit yang digelontorkan untuk memenuhi impulse buying mereka yang tinggi itu?

Matahari menggelincir. Rembang petang mengambang. Rumah Kartanegara di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, menyemburatkan tawa renyah sejumlah wanita muda dan beberapa wanita paruh baya. Alunan denting piano mengiringi lenggak-lenggok para model memeragakan koleksi tas, dompet dan sepatu terbaru dari Bogetta Venetta. Sebelum fashion show dimulai, para tamu bahkan sudah menyerbu tempat displai produk asal Italia itu. Tas-tas dari kulit anak rusa, sapi dan domba seharga Rp 10-18 juta/buah itu pun berpindah tangan. Di antara puluhan tamu, Jureke Kusuma terlihat sumringah menenteng belanjaannya. "Saya suka desainnya, simpel dan elegan," katanya.

Jureke memang menggandrungi produk-produk fashion Italia. Selain Bogetta Venetta, Direktur Pemasaran sekaligus salah satu pemilik Avenue Club & Lounge di Hotel Sari Pan Pacific ini penggemar fanatik desain Moschino. "Desain pakaiannya elegan tapi terkesan fun," ujar Jureke yang biasa membeli produk Moschino di Hilton Singapura. Jureke memang biasa membalut tubuhnya yang semampai -- tinggi 169 cm -- dengan produk keluaran Italia itu kalau pas ada acara formal. "Saya lebih suka mengenakan celana jins dipadu dengan T-shirt plus topi ketimbang pakai rok," ujar kelahiran Sumatera Barat, 28 Februari 1971, ini. Kesukaanya pada gaya kasual membuatnya kerap tampil sportif. "Pakaian tidak harus mahal, yang penting cocok dan nyaman di badan," ujar pemakai GAP, Calvin Klein dan DKNY ini.

Tak hanya pakaian, Jureke juga mengoleksi tas, dompet dan sepatu branded keluaran rumah mode, seperti Hermes dan Channel. Bahkan, saking gandrungnya, ratusan dompet kedua merek tersebut memenuhi almarinya. Toh, ia menandaskan, ia bukannya kurang menyukai produk lokal. Ia mengaku belum ada produk fashion lokal yang membuatnya jatuh cinta. "Lagian, saya kurang tahu merek-merek lokal," ungkap salah satu cucu pendiri Grup ABC ini, terus terang.

Tak ayal, Jureke lebih sering membeli produk fashion di luar negeri, terutama Amerika Serikat. Maklum, 3-4 bulan sekali ia mesti terbang ke Negeri Paman Sam untuk menyambangi keluarga besarnya yang bermukim di sana. Menurut dia, membeli produk fashion di luar negeri, terutama di AS, sejatinya lebih murah ketimbang membeli di Tanah Air. "Harga pakaian di sana bisa 60% lebih murah dibanding di sini," katanya. Pasalnya, menurut Jureke, di luar negeri perputaran produk fashion berlangsung cepat, model dan tren cepat berganti, sehingga sering diadakan sale, yang otomatis harganya lebih murah.

Gail Soplanit sependapat dengan Jureke. Ia juga senang berbelanja fashion di luar negeri, terutama AS, karena jauh lebih murah dibanding membeli produk yang sama di sini. "Saya tidak belanja di sini karena selisih harganya jauh sekali," ujar Manajer Key Account Oriflame ini. Sebagai profesional yang berkiprah di dunia kecantikan, penampilan menjadi elemen penting. "Setiap orang tentu ingin tampil menarik dan ingin diperhatikan. Banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya dari cara berpakaian," papar lajang kelahiran 26 Desember 1978 ini.

Supaya tampil modis, lulusan Jurusan Pemasaran California State University ini tak segan membelanjakan hasil keringatnya untuk membeli berbagai produk fashion (baju, sepatu, tas) favoritnya seperti Mango, U2, Etic New York, Louis Vuitton, Nine West, Armani dan Zara. Gail juga mengoleksi kaca mata dan jam tangan keluaran Poly Poly, Cartier dan Armani. Hampir semua produk tersebut ia beli di Singapura, Paris dan AS.

Setali tiga uang, Haseena juga kerap terbang ke mancanegara. Bahkan, 3-4 bulan sekali ia harus ke India memesan pakaian pesta ke butik langganannya di Mumbay. Sementara untuk pakaian sehari-hari, ia saban bulan menyambangi butik-butik branded di pusat perbelanjaan papan atas di Jakarta untuk mencari produk teranyar kesukaannya. "Berapa pun harganya, pasti saya beli kalau cocok," kata Haseena yang saat ini menjadi Manajer Penjualan dan Pemasaran PT Bakrie Nirwana Resort.

Toh, ia mengaku tak semua produk paling gres di pasar dibelinya. "Saya hanya membeli produk yang sesuai dengan minat dan postur tubuh saya," ujar kelahiran 24 Agustus 1970 ini. Selain baju, Haseena juga kerap berburu sepatu dan tas model terbaru. Tak mengherankan, setiap bulan ia mengalokasikan Rp 10 juta khusus untuk keperluan fashion. Sejak kecil, ia memang sudah akrab dengan dunia fashion. Selain dipicu hobi, fashion bagi Haseena membuat lebih percaya diri, terutama setelah menerjuni panggung karier profesional. "Pekerjaan saya sekarang menuntut saya sering berinteraksi dengan orang yang selalu berbeda dari waktu ke waktu," papar pemakai fashion keluaran Mango, Zara dan Dior yang juga mengibarkan usaha jewellery bersama suaminya di Jakarta dan Singapura ini.

Lain lagi perilaku Estelita Hidayat. Ia bisa belanja setiap hari. Kapan pun dan di mana pun. "Kalau ada waktu luang, tiap hari pun bisa belanja," ujar dara cantik pemilik tinggi 168 cm ini. Saking shopaholic-nya (gila belanja), Estelita tak pernah menganggarkan dan memikirkan berapa anggaran untuk belanja setiap hari. "Saya tidak pernah merencanakan akan belanja kapan dan apa saja yang akan saya beli. Kalau pas jalan ke mal, ada barang bagus dan cocok dipakai, ya langsung beli," katanya enteng. Apalagi kalau musim sale, wah nafsu belanjanya tambah membuncah.

CEO BIDS Global Consultant dan Strategic Planning Director Voxa Communications ini bahkan minimal sekali setahun belanja besar ke luar negeri. Surga belanja favoritnya adalah City -- pusat perbelanjaan di Perth, Australia. "Saya cocok dengan mode-mode Australia," ungkap pemakai parfum Kenzo ini. Selain itu, ia mengaku merasa lebih nyaman karena Negeri Kanguru ini sudah seperti rumah sendiri. Maklum, kelahiran 7 Februari 1972 ini menimba pendidikan MBA di sana.

Meski sangat memperhatikan penampilan, Lita -- begitu ia akrab disapa -- tetap menunjukkan karakter dan kepribadiannya. Untuk busana kerja, ia lebih menyukai dandanan yang elegan dan sopan. "Saya bukan artis, jadi tak perlu penampilan yang mencolok," tutur pengendara Mercedes-Benz E-Class ini. Menurut Lita, kesukaannya pada branded fashion bukan karena luar negeri minded. "Brand-brand lokal banyak yang tak cocok dengan ukuran badan saya. Ada saja yang mesti dirombak kalau membeli pakaian lokal, kurang panjanglah atau kurang besar, termasuk sepatu," jelas Lita yang menggandrungi Marks & Spencer, Table Eight serta Betty Barcley -- dua yang terakhir merek keluaran Australia.

Shopaholic juga dialami Nina Roselina. Untuk urusan fashion dan mode, ibu dua putri ini selalu ingin menjadi yang terdepan. "Saya memang senang mengikuti mode dan mungkin gila belanja," ungkap Manajer Account PT Ericsson Indonesia itu. Untuk busana, istri pengusaha perkebunan dan kayu ini sangat fanatik pada merek Mango, Esprit dan Simply Icon. Sementara untuk busana pesta, ia menyukai rancangan Adji Notonegoro dan Musa Widiatmodjo.

Tak hanya lemari bajunya yang penuh sesak. Lemari sepatu dan tas milik Nina sami mawon: penuh. Ada 10 tas Channel, tiga tas Louis Vuitton, dua Hermes dan satu Prada. Koleksi sepatu dan selop yang dimiliki kelahiran 9 November 1970 ini juga beragam, mulai dari Miu-Miu, Prada, Channel sampai Inamori. "Kalau ada model baru yang saya anggap cocok, ya selalu ingin beli," ungkap Nina yang juga mengoleksi jam tangan keluaran Channel, Gucci, Versace dan Dior. Untuk aksesori lainnya, Nina seperti kebanyakan kaum Hawa, menyukai gemerlap intan berlian. "Saya penggemar berat berlian," ungkap pelanggan Frank & Co. ini. Selain membeli di toko, ia membeli berlian dari komunitas arisan ibu-ibu yang diikutinya dan berburu ke mancanegara.

Lieke Gunawan juga tercatat sebagai penggemar berat intan berlian. Seperti siang pekan lalu, saat janji bertemu SWA di The Beleza Apartment, gelang dan cincin bertahtakan berlian menghiasi jemari dan tangannya. Sementara tubuhnya dibalut jins komprang dan kaus putih lengan panjang. Kaca mata keluaran Donna Karan bertengger di atas kepalanya dan tas putih Louis Vuitton disampirkan di lengannya.

Usia boleh saja merambat naik, tetapi penampilan bagi Lieke harus tetap mengikuti perkembangan zaman. Ibu tiga anak ini memang tak muda lagi, sudah kepala empat. Toh, mantan model ini masih terlihat modis dan trendi. "Semua pakaian jadi saya beli di luar negeri," katanya. Diakuinya, bukannya ia tidak menyukai rancangan atau produk lokal. Hanya saja, baju jadi keluaran lokal ternyata tak ada yang pas di badannya. "Ukuran untuk badan saya tidak ada," tambahnya. Untuk gaun pesta, Lieke memakai hasil kreasi Edy Betty dan Adjie Notonegoro.

Merek favoritnya adalah Gaultier dan Valentino yang harga per potongnya Rp 2"3 juta ke atas. Untuk tas dan sepatu, ia fanatik merek Hermes, Gucci, Louis Vuitton dan Dior. Saking gandrungnya, lebih dari seratus tas dan sepatu menyesaki lemarinya. Bahkan, ia memiliki tas koleksi Hermes yang sangat langka: model Birkin yang tidak dijual di Indonesia. Lieke langsung membelinya di Paris. Harganya? "Ada lah," elaknya. Yang pasti, ia memiliki 9 tas model Birkin yang semuanya limited edition.

Lieke mengaku tak memiliki waktu khusus untuk kegiatan fashion shopping-nya. "Bisa beberapa kali dalam sebulan," katanya. Sekali berbelanja produk fashion paling tidak Rp 50 juta keluar dari kantongnya. "Hobi, sih," katanya enteng. Ia juga terbiasa memakai merek yang sama untuk penampilannya. Semisal, tas yang dipakai Hermes, sepatunya juga Hermes. Toh, dalam memilih fashion, ia tak semata-mata melihat satu merek. Pertimbangannya, tren, model dan mood. "Kalau saya suka barang itu, ya saya beli," ujarnya.

Karena selalu mengoleksi produk teranyar, sudah tentu produk out of date akan tersingkir dari lemari Lieke. Diakuinya, barang-barang yang tidak dipakai lagi biasanya ia hibahkan kepada kerabat dan teman dekatnya. Kecuali produk limited edition, seperti koleksi bufet Blue Ball. "Sampai saya tua pun saya tetap akan menyimpannya karena itu limited," tambahnya. Di rumahnya di kawasan Pondok Indah, perabot dan pernak-perniknya didominasi produk Da Vinci.

Kalau Lieke menghibahkan produk fashion out of date kepada kerabat dan teman dekatnya, tidak demikian dengan Gail. Produk fashion yang dibelinya sampai sekarang masih terawat. "Barang-barang itu harganya mahal, kalau tidak dipakai lagi, ya disimpan sebagai koleksi," ungkapnya. Bagi Gail, aspek terpenting yang dipertimbangkannya dalam memilih produk adalah kualitas. "Memilih produk fashion itu tidak semata-mata mengikuti tren tetapi harus bisa dipakai lama."

Haseena juga bukan tipikal orang yang begitu saja membuang barang yang sudah kedaluwarsa. Kendati life cycle produk fashion relatif pendek, ia tetap menyimpannya sampai 6-8 tahun. Tak ayal, koleksi busananya memenuhi tiga lemari besar yang masing-masing mempunyai 5 pintu. Haseena tergolong rajin merawat koleksi baju-bajunya, mulai dari cara pencucian sampai penyimpanan.

Demikian juga Lita. Di kediamannya di bilangan Mega Kuningan, Jakarta, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini memiliki dress room di ruang pribadinya. Ruang pribadi seluas 70 m2 itu dihiasinya dengan sejumlah furnitur bergaya simpel elegan. "Kalau belanja, saya jarang membeli aksesori rumah, mungkin karena saya bukan ibu rumah tangga," katanya tertawa.

Boleh jadi Lita ada benarnya. Pasalnya, Haseena dan Nina yang sudah berumah tangga menempatkan perabotan dan pernak-pernik rumah sebagai fashion yang juga memiliki tren. "Saya sangat suka perabotan rumah tangga bergaya minimalis," ungkap Nina. Mulai tempat tidur, lemari, sofa sampai barang furnitur lainnya di rumah Nina didominasi produk Vinoti dan Floral Home. "Kedua merek tersebut bercirikhas, simple look," kata Haseena. Merek yang sama juga menjadi pilihan Jureke. Seperti pakaian, ia mengaku menyukai desain interior bergaya simpel elegan. Produk Vinoti tampak menjadi bagian dari interior kediaman Jureke di kawasan Ancol, Jakarta. Untuk mendapatkan barang-barang furnitur yang sesuai dengan karakternya, Jureke rela memburunya sampai ke Bali. Desain interior simpel elegan itu juga ia terapkan di kantornya.

Jureke, Haseena, Gail, Nina, Lita dan Lieke hanyalah segelintir konsumen yang menempatkan fashion sebagai bagian dari gaya hidup. Mereka memiliki impulse buying yang tinggi. Dana mereka juga unlimited. Mereka tak segan mengeluarkan puluhan juta rupiah untuk membeli produk fashion.

Bagaimana seharusnya produsen menggarap mereka" Dalam pandangan Rudy Handoko, staf pengajar Departemen Pemasaran Prasetiya Mulya Business School, untuk menggarap konsumen dengan tipikal seperti itu, branding memiliki kekuatan untuk memasarkan produk fashion. "Agar bisa diterima konsumen, branding harus kuat," katanya.

Rudy mencontohkan, produk Marks & Spencer di negeri asalnya dijual di departement store kelas Matahari. Namun, di sini justru menjadi produk busana eksklusif. Pelanggan di sini yang Western minded tampaknya tak peduli dengan kondisi tersebut. "Yang penting buat mereka adalah mereknya, padahal boleh jadi produk tersebut dibuat di Indonesia," jelasnya. Ia melihat, di sini banyak konsumen dengan impulse buying tinggi cenderung membeli produk-produk bermerek, "Karena pesona mereknya saja," ungkap Rudy.

Mengerti psikografis konsumen, menurut Rudy, membuat produsen dapat secara persis menerapkan strategi promosi dan penjualan yang tepat dan sesuai. Sementara Jacky Mussry, Partner/Kepala Divisi Consulting & Research MarkPlus & Co, berpendapat, pendekatan yang paling pas dengan karakteristik produk fashion yang memiliki daur hidup yang pendek adalah experiential marketing. "Produk fashion banyak berkaitan dengan emotional benefit," katanya. Artinya, untuk memasarkan produk yang berkaitan dengan fashion, seyogyanya mengacu pada konsep-konsep experiential marketing.

Oleh: Henni T. Soelaeman
Sumber: Majalah SWA, Kamis, 10 Juni 2004
URL: http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=514