Monday, November 13, 2006

Berapapun Harganya, Asal Suka, Beli!

Ratusan produk fashion bermerek telah memenuhi lemari. Toh, mereka terus berburu ke mancanegara. Apa saja produk favorit mereka? Berapa duit yang digelontorkan untuk memenuhi impulse buying mereka yang tinggi itu?

Matahari menggelincir. Rembang petang mengambang. Rumah Kartanegara di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, menyemburatkan tawa renyah sejumlah wanita muda dan beberapa wanita paruh baya. Alunan denting piano mengiringi lenggak-lenggok para model memeragakan koleksi tas, dompet dan sepatu terbaru dari Bogetta Venetta. Sebelum fashion show dimulai, para tamu bahkan sudah menyerbu tempat displai produk asal Italia itu. Tas-tas dari kulit anak rusa, sapi dan domba seharga Rp 10-18 juta/buah itu pun berpindah tangan. Di antara puluhan tamu, Jureke Kusuma terlihat sumringah menenteng belanjaannya. "Saya suka desainnya, simpel dan elegan," katanya.

Jureke memang menggandrungi produk-produk fashion Italia. Selain Bogetta Venetta, Direktur Pemasaran sekaligus salah satu pemilik Avenue Club & Lounge di Hotel Sari Pan Pacific ini penggemar fanatik desain Moschino. "Desain pakaiannya elegan tapi terkesan fun," ujar Jureke yang biasa membeli produk Moschino di Hilton Singapura. Jureke memang biasa membalut tubuhnya yang semampai -- tinggi 169 cm -- dengan produk keluaran Italia itu kalau pas ada acara formal. "Saya lebih suka mengenakan celana jins dipadu dengan T-shirt plus topi ketimbang pakai rok," ujar kelahiran Sumatera Barat, 28 Februari 1971, ini. Kesukaanya pada gaya kasual membuatnya kerap tampil sportif. "Pakaian tidak harus mahal, yang penting cocok dan nyaman di badan," ujar pemakai GAP, Calvin Klein dan DKNY ini.

Tak hanya pakaian, Jureke juga mengoleksi tas, dompet dan sepatu branded keluaran rumah mode, seperti Hermes dan Channel. Bahkan, saking gandrungnya, ratusan dompet kedua merek tersebut memenuhi almarinya. Toh, ia menandaskan, ia bukannya kurang menyukai produk lokal. Ia mengaku belum ada produk fashion lokal yang membuatnya jatuh cinta. "Lagian, saya kurang tahu merek-merek lokal," ungkap salah satu cucu pendiri Grup ABC ini, terus terang.

Tak ayal, Jureke lebih sering membeli produk fashion di luar negeri, terutama Amerika Serikat. Maklum, 3-4 bulan sekali ia mesti terbang ke Negeri Paman Sam untuk menyambangi keluarga besarnya yang bermukim di sana. Menurut dia, membeli produk fashion di luar negeri, terutama di AS, sejatinya lebih murah ketimbang membeli di Tanah Air. "Harga pakaian di sana bisa 60% lebih murah dibanding di sini," katanya. Pasalnya, menurut Jureke, di luar negeri perputaran produk fashion berlangsung cepat, model dan tren cepat berganti, sehingga sering diadakan sale, yang otomatis harganya lebih murah.

Gail Soplanit sependapat dengan Jureke. Ia juga senang berbelanja fashion di luar negeri, terutama AS, karena jauh lebih murah dibanding membeli produk yang sama di sini. "Saya tidak belanja di sini karena selisih harganya jauh sekali," ujar Manajer Key Account Oriflame ini. Sebagai profesional yang berkiprah di dunia kecantikan, penampilan menjadi elemen penting. "Setiap orang tentu ingin tampil menarik dan ingin diperhatikan. Banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya dari cara berpakaian," papar lajang kelahiran 26 Desember 1978 ini.

Supaya tampil modis, lulusan Jurusan Pemasaran California State University ini tak segan membelanjakan hasil keringatnya untuk membeli berbagai produk fashion (baju, sepatu, tas) favoritnya seperti Mango, U2, Etic New York, Louis Vuitton, Nine West, Armani dan Zara. Gail juga mengoleksi kaca mata dan jam tangan keluaran Poly Poly, Cartier dan Armani. Hampir semua produk tersebut ia beli di Singapura, Paris dan AS.

Setali tiga uang, Haseena juga kerap terbang ke mancanegara. Bahkan, 3-4 bulan sekali ia harus ke India memesan pakaian pesta ke butik langganannya di Mumbay. Sementara untuk pakaian sehari-hari, ia saban bulan menyambangi butik-butik branded di pusat perbelanjaan papan atas di Jakarta untuk mencari produk teranyar kesukaannya. "Berapa pun harganya, pasti saya beli kalau cocok," kata Haseena yang saat ini menjadi Manajer Penjualan dan Pemasaran PT Bakrie Nirwana Resort.

Toh, ia mengaku tak semua produk paling gres di pasar dibelinya. "Saya hanya membeli produk yang sesuai dengan minat dan postur tubuh saya," ujar kelahiran 24 Agustus 1970 ini. Selain baju, Haseena juga kerap berburu sepatu dan tas model terbaru. Tak mengherankan, setiap bulan ia mengalokasikan Rp 10 juta khusus untuk keperluan fashion. Sejak kecil, ia memang sudah akrab dengan dunia fashion. Selain dipicu hobi, fashion bagi Haseena membuat lebih percaya diri, terutama setelah menerjuni panggung karier profesional. "Pekerjaan saya sekarang menuntut saya sering berinteraksi dengan orang yang selalu berbeda dari waktu ke waktu," papar pemakai fashion keluaran Mango, Zara dan Dior yang juga mengibarkan usaha jewellery bersama suaminya di Jakarta dan Singapura ini.

Lain lagi perilaku Estelita Hidayat. Ia bisa belanja setiap hari. Kapan pun dan di mana pun. "Kalau ada waktu luang, tiap hari pun bisa belanja," ujar dara cantik pemilik tinggi 168 cm ini. Saking shopaholic-nya (gila belanja), Estelita tak pernah menganggarkan dan memikirkan berapa anggaran untuk belanja setiap hari. "Saya tidak pernah merencanakan akan belanja kapan dan apa saja yang akan saya beli. Kalau pas jalan ke mal, ada barang bagus dan cocok dipakai, ya langsung beli," katanya enteng. Apalagi kalau musim sale, wah nafsu belanjanya tambah membuncah.

CEO BIDS Global Consultant dan Strategic Planning Director Voxa Communications ini bahkan minimal sekali setahun belanja besar ke luar negeri. Surga belanja favoritnya adalah City -- pusat perbelanjaan di Perth, Australia. "Saya cocok dengan mode-mode Australia," ungkap pemakai parfum Kenzo ini. Selain itu, ia mengaku merasa lebih nyaman karena Negeri Kanguru ini sudah seperti rumah sendiri. Maklum, kelahiran 7 Februari 1972 ini menimba pendidikan MBA di sana.

Meski sangat memperhatikan penampilan, Lita -- begitu ia akrab disapa -- tetap menunjukkan karakter dan kepribadiannya. Untuk busana kerja, ia lebih menyukai dandanan yang elegan dan sopan. "Saya bukan artis, jadi tak perlu penampilan yang mencolok," tutur pengendara Mercedes-Benz E-Class ini. Menurut Lita, kesukaannya pada branded fashion bukan karena luar negeri minded. "Brand-brand lokal banyak yang tak cocok dengan ukuran badan saya. Ada saja yang mesti dirombak kalau membeli pakaian lokal, kurang panjanglah atau kurang besar, termasuk sepatu," jelas Lita yang menggandrungi Marks & Spencer, Table Eight serta Betty Barcley -- dua yang terakhir merek keluaran Australia.

Shopaholic juga dialami Nina Roselina. Untuk urusan fashion dan mode, ibu dua putri ini selalu ingin menjadi yang terdepan. "Saya memang senang mengikuti mode dan mungkin gila belanja," ungkap Manajer Account PT Ericsson Indonesia itu. Untuk busana, istri pengusaha perkebunan dan kayu ini sangat fanatik pada merek Mango, Esprit dan Simply Icon. Sementara untuk busana pesta, ia menyukai rancangan Adji Notonegoro dan Musa Widiatmodjo.

Tak hanya lemari bajunya yang penuh sesak. Lemari sepatu dan tas milik Nina sami mawon: penuh. Ada 10 tas Channel, tiga tas Louis Vuitton, dua Hermes dan satu Prada. Koleksi sepatu dan selop yang dimiliki kelahiran 9 November 1970 ini juga beragam, mulai dari Miu-Miu, Prada, Channel sampai Inamori. "Kalau ada model baru yang saya anggap cocok, ya selalu ingin beli," ungkap Nina yang juga mengoleksi jam tangan keluaran Channel, Gucci, Versace dan Dior. Untuk aksesori lainnya, Nina seperti kebanyakan kaum Hawa, menyukai gemerlap intan berlian. "Saya penggemar berat berlian," ungkap pelanggan Frank & Co. ini. Selain membeli di toko, ia membeli berlian dari komunitas arisan ibu-ibu yang diikutinya dan berburu ke mancanegara.

Lieke Gunawan juga tercatat sebagai penggemar berat intan berlian. Seperti siang pekan lalu, saat janji bertemu SWA di The Beleza Apartment, gelang dan cincin bertahtakan berlian menghiasi jemari dan tangannya. Sementara tubuhnya dibalut jins komprang dan kaus putih lengan panjang. Kaca mata keluaran Donna Karan bertengger di atas kepalanya dan tas putih Louis Vuitton disampirkan di lengannya.

Usia boleh saja merambat naik, tetapi penampilan bagi Lieke harus tetap mengikuti perkembangan zaman. Ibu tiga anak ini memang tak muda lagi, sudah kepala empat. Toh, mantan model ini masih terlihat modis dan trendi. "Semua pakaian jadi saya beli di luar negeri," katanya. Diakuinya, bukannya ia tidak menyukai rancangan atau produk lokal. Hanya saja, baju jadi keluaran lokal ternyata tak ada yang pas di badannya. "Ukuran untuk badan saya tidak ada," tambahnya. Untuk gaun pesta, Lieke memakai hasil kreasi Edy Betty dan Adjie Notonegoro.

Merek favoritnya adalah Gaultier dan Valentino yang harga per potongnya Rp 2"3 juta ke atas. Untuk tas dan sepatu, ia fanatik merek Hermes, Gucci, Louis Vuitton dan Dior. Saking gandrungnya, lebih dari seratus tas dan sepatu menyesaki lemarinya. Bahkan, ia memiliki tas koleksi Hermes yang sangat langka: model Birkin yang tidak dijual di Indonesia. Lieke langsung membelinya di Paris. Harganya? "Ada lah," elaknya. Yang pasti, ia memiliki 9 tas model Birkin yang semuanya limited edition.

Lieke mengaku tak memiliki waktu khusus untuk kegiatan fashion shopping-nya. "Bisa beberapa kali dalam sebulan," katanya. Sekali berbelanja produk fashion paling tidak Rp 50 juta keluar dari kantongnya. "Hobi, sih," katanya enteng. Ia juga terbiasa memakai merek yang sama untuk penampilannya. Semisal, tas yang dipakai Hermes, sepatunya juga Hermes. Toh, dalam memilih fashion, ia tak semata-mata melihat satu merek. Pertimbangannya, tren, model dan mood. "Kalau saya suka barang itu, ya saya beli," ujarnya.

Karena selalu mengoleksi produk teranyar, sudah tentu produk out of date akan tersingkir dari lemari Lieke. Diakuinya, barang-barang yang tidak dipakai lagi biasanya ia hibahkan kepada kerabat dan teman dekatnya. Kecuali produk limited edition, seperti koleksi bufet Blue Ball. "Sampai saya tua pun saya tetap akan menyimpannya karena itu limited," tambahnya. Di rumahnya di kawasan Pondok Indah, perabot dan pernak-perniknya didominasi produk Da Vinci.

Kalau Lieke menghibahkan produk fashion out of date kepada kerabat dan teman dekatnya, tidak demikian dengan Gail. Produk fashion yang dibelinya sampai sekarang masih terawat. "Barang-barang itu harganya mahal, kalau tidak dipakai lagi, ya disimpan sebagai koleksi," ungkapnya. Bagi Gail, aspek terpenting yang dipertimbangkannya dalam memilih produk adalah kualitas. "Memilih produk fashion itu tidak semata-mata mengikuti tren tetapi harus bisa dipakai lama."

Haseena juga bukan tipikal orang yang begitu saja membuang barang yang sudah kedaluwarsa. Kendati life cycle produk fashion relatif pendek, ia tetap menyimpannya sampai 6-8 tahun. Tak ayal, koleksi busananya memenuhi tiga lemari besar yang masing-masing mempunyai 5 pintu. Haseena tergolong rajin merawat koleksi baju-bajunya, mulai dari cara pencucian sampai penyimpanan.

Demikian juga Lita. Di kediamannya di bilangan Mega Kuningan, Jakarta, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini memiliki dress room di ruang pribadinya. Ruang pribadi seluas 70 m2 itu dihiasinya dengan sejumlah furnitur bergaya simpel elegan. "Kalau belanja, saya jarang membeli aksesori rumah, mungkin karena saya bukan ibu rumah tangga," katanya tertawa.

Boleh jadi Lita ada benarnya. Pasalnya, Haseena dan Nina yang sudah berumah tangga menempatkan perabotan dan pernak-pernik rumah sebagai fashion yang juga memiliki tren. "Saya sangat suka perabotan rumah tangga bergaya minimalis," ungkap Nina. Mulai tempat tidur, lemari, sofa sampai barang furnitur lainnya di rumah Nina didominasi produk Vinoti dan Floral Home. "Kedua merek tersebut bercirikhas, simple look," kata Haseena. Merek yang sama juga menjadi pilihan Jureke. Seperti pakaian, ia mengaku menyukai desain interior bergaya simpel elegan. Produk Vinoti tampak menjadi bagian dari interior kediaman Jureke di kawasan Ancol, Jakarta. Untuk mendapatkan barang-barang furnitur yang sesuai dengan karakternya, Jureke rela memburunya sampai ke Bali. Desain interior simpel elegan itu juga ia terapkan di kantornya.

Jureke, Haseena, Gail, Nina, Lita dan Lieke hanyalah segelintir konsumen yang menempatkan fashion sebagai bagian dari gaya hidup. Mereka memiliki impulse buying yang tinggi. Dana mereka juga unlimited. Mereka tak segan mengeluarkan puluhan juta rupiah untuk membeli produk fashion.

Bagaimana seharusnya produsen menggarap mereka" Dalam pandangan Rudy Handoko, staf pengajar Departemen Pemasaran Prasetiya Mulya Business School, untuk menggarap konsumen dengan tipikal seperti itu, branding memiliki kekuatan untuk memasarkan produk fashion. "Agar bisa diterima konsumen, branding harus kuat," katanya.

Rudy mencontohkan, produk Marks & Spencer di negeri asalnya dijual di departement store kelas Matahari. Namun, di sini justru menjadi produk busana eksklusif. Pelanggan di sini yang Western minded tampaknya tak peduli dengan kondisi tersebut. "Yang penting buat mereka adalah mereknya, padahal boleh jadi produk tersebut dibuat di Indonesia," jelasnya. Ia melihat, di sini banyak konsumen dengan impulse buying tinggi cenderung membeli produk-produk bermerek, "Karena pesona mereknya saja," ungkap Rudy.

Mengerti psikografis konsumen, menurut Rudy, membuat produsen dapat secara persis menerapkan strategi promosi dan penjualan yang tepat dan sesuai. Sementara Jacky Mussry, Partner/Kepala Divisi Consulting & Research MarkPlus & Co, berpendapat, pendekatan yang paling pas dengan karakteristik produk fashion yang memiliki daur hidup yang pendek adalah experiential marketing. "Produk fashion banyak berkaitan dengan emotional benefit," katanya. Artinya, untuk memasarkan produk yang berkaitan dengan fashion, seyogyanya mengacu pada konsep-konsep experiential marketing.

Oleh: Henni T. Soelaeman
Sumber: Majalah SWA, Kamis, 10 Juni 2004
URL: http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=514

No comments: