Thursday, November 23, 2006

Lintasan Barang-barang Bermerek pada Dewi Moran

Bagaimanakah perkembangan konsumsi barang-barang bermerek di Indonesia? Sebersit lintasannya bisa kita baca pada perjalanan hidup Dewi Moran yang bergelut di dunia perdagangan barang-barang bermerek itu sejak sekitar seperempat abad lalu.

Kalau disuruh cerita, Dewi pasti masih bisa mengingat, bagaimana, misalnya, pada tahun 1970-an anak-anak muda terpesona oleh perubahan sosial besar yang dibawa Orde Baru. Gaya hidup dengan orientasi Barat mendapat keleluasaan gerak setelah orde sebelumnya, yakni Orde Lama, tumbang. Anak-anak muda mulai memakai Levi’s. Distributornya, alias orang pertama yang menghadirkan produk itu ke Indonesia adalah Nico Moran, suami Dewi.

Dalam wawancara dengan Kompas pada awal tahun 1990-an, Dewi masih bisa mengingat, bagaimana mereka membuka jeans corner di pusat perdagangan Sarinah di Jalan Thamrin. Atau bagaimana ketika mereka membuka stan di Jakarta Fair, yang waktu itu menjadi pusat sosialisasi barang-barang baru. Anak-anak muda membeli celana Levi’s dengan uang receh hasil tabungan. "Mereka hitung uangnya di depan kami terdiri dari uang-uang receh, pokoknya genap Rp 7.500," cerita Dewi kala itu, mengenang harga celana Levi’s tahun 1970-an.

Atau seperti dituturkannya dalam wawancara kembali pekan lalu di Jakarta, di kantornya, PT Mahagaya Perdana (MGP), yang dari suasananya menunjukkan makin berkembangnya bisnis barang-barang bermerek ini (MGP menjadi pemegang waralaba di Indonesia merek-merek seperti Prada, Tod’s, Jimmy Choo, dan tentu saja yang sejak dulu diasosiasikan dengan mereka, yakni Etienne Aigner).

MGP adalah pemegang franchise pertama di Indonesia, dalam hal ini merek Etienne Aigner pada awal tahun 1980-an (apakah Anda jadi teringat, misalnya siapa pacar Anda yang sepatunya waktu itu bermerek Etienne Aigner?).

"Ketika kami membuka toko pertama kali, pengunjung pusing, lho kok semua barangnya Aigner?" ujar Dewi mengenai toko/butiknya yang waktu itu berada di mal mewah pertama di Jakarta, yakni Gajah Mada Plaza.

Saat itu, belum ada toko untuk satu merek barang. Yang ada adalah toko-toko yang menjual berbagai barang bermerek sekaligus yang dagangannya adalah hasil kulakan ke luar negeri, termasuk dari Bangkok yang waktu itu menjadi "pusat" barang-barang tiruan. Atau, barangkali masih ada yang ingat, orang Jakarta waktu itu biasa pergi ke Pasar Ular di Jakarta Utara untuk mencari barang-barang yang dianggap bermerek.

"Jadi, pertama kali kami harus mengajari konsumen," katanya. "Mereka juga banyak yang belum tahu, mana barang asli alias original dan mana palsu," katanya.

Tentu saja juga takjubnya sejumlah orang, bagaimana barang-barang, seperti tas, sepatu, dompet, dan semacamnya, bisa begitu mahal harganya.

Luar biasa

Kini, keadaan sudah jauh berbeda. Untuk hal konsumsi, Dewi menggambarkan konsumen saat ini sangat paham seluk-beluk barang-barang bermerek (pernah ada seloroh, turis-turis dari berbagai negara kalau ke Paris mengunjungi galeri-galeri seni rupa, turis Indonesia cukup mengunjungi Galerie Lafayette—mal terkenal di Paris). Jenis barang apa saja yang akan keluar tahun depan mereka sudah tahu. Itu tentu, antara lain, disebabkan oleh meruyaknya informasi.

"Jakarta menjadi internasional sekali," komentar Dewi. Beberapa kota besar lain mengikuti, taruhlah semacam Surabaya. "Surabaya juga, bahkan kadang kelebihan, ha-ha..." komentarnya.

Dari segi produk, juga terjadi perkembangan luar biasa. Dewi sempat menyinggung beberapa hal yang sifatnya agak teknis, misalnya menyangkut material yang digunakan produk-produk fashion sekarang.

Mengenai produk ini, dia mengamati, pada masa lalu produk barang bermerek modelnya seperti hanya dikhususkan untuk kalangan dewasa (mature). "Sekarang, menjadi sangat muda," katanya. "Saya sendiri untuk sehari-hari favorit saya Mango," ucapnya seraya mengomentari kualitas barang itu sebagai "value for money".

Dia tertawa ketika dikomentari mengenai penampilannya. "Saya punya staf muda-muda, jadi terbawa. Anak-anak saya juga laki-laki semua," ujarnya tertawa.

Hal paling penting dalam bisnis barang-barang bermerek ini, menurut Dewi, seseorang harus punya selera. "Itu yang penting," katanya. "Kita punya taste, dan juga harus sadar, itu bukan yang sekadar saya senang," tambahnya. Maksudnya, selera itu juga menyangkut untuk melayani konsumen.

Dia menceritakan, bagaimana sejak semula dia belajar banyak mengenai dunia fashion. Ketika pertama kali terjun ke bisnis ini dan mulai belajar, misalnya, ukuran yang paling umum taruhlah menyangkut ukuran sepatu, baju, dan lain-lain. Katanya, "Kita harus tahu, best selling size (ukuran yang paling laku terjual) itu berapa." (Sekadar pengetahuan untuk para lelaki, kalau Anda mau membelikan sepatu istri atau pacar, ukuran yang paling umum adalah antara 37-37.

Masih banyak lagi yang dia pelajari, bahkan terus sampai kini. "Selalu ada sesuatu yang baru, selalu ada yan tak pernah kita pikirkan," katanya mengenai proses belajar yang terus-menerus itu.

Apa yang membuat Dewi seperti tak pernah lelah dengan dunia bisnis barang-barang bermerek yang digelutinya itu? "I love what I'm doing (Saya mencintai apa yang saya kerjakan)...," tukasnya.

Oleh: Bre Redana dan Ninuk Mardiana Pambudy
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0611/19/urban/3103061.htm

No comments: